Jumat, 18 Desember 2009

Pulang


Pada suatu malam seorang profesor pulang terlambat. Ketika hendak membuka pintu, dia sadar bahwa dia tidak membawa kunci rumah. Akhirnya dia mengetuk-ngetuk pintu rumahnya hingga istrinya terbangun dan membukakan pintu.

Karena keadaan rumah sangat gelap, pada waktu membuka pintu sang istri tidak dapat mengenali si profesor yang adalah suaminya. Sang istri lalu berkata, 'Maaf Pak. Profesor sedang keluar, dia tidak ada di rumah.'

Profesor menjawab, 'Oke, kalau begitu saya akan kembali lagi besok. Terima kasih, Bu!'

Seperti itulah kita, seringkali kita lupa akan pulang. Dari mana kita berasal dan kemana kita akan kembali. Bila hidup adalah sebuah pengembaraan yang tidak pernah ada habisnya membuat kita semakin tersesat dan lupa kembali pulang ke asal.

‘Dalam aku berkelana, tiada seorangpun yang tahu,’ begitulah syair lagu Rhoma Irama yang berjudul ‘Berkelana.’ Sebagai sebuah bentuk gambaran berkelana dalam mengarungi kehidupan materialisme memasuki bulan suci Ramadhan kita mengerem semua aktifitas syahwat duniawi. Hari-hari mendekati Idul Fitri banyak diantara kita berbondong-bondong untuk mudik, pulang kampung.

Gejala mudik menjadi sebuah tradisi, gaya hidup dan makna hakiki dalam kehidupan modernitas didalamnya terkandung nilai landas filosofis yang menjadi tanda eksistensi ke’aku’an di tengah masyarakat. Ketika mudik, ada semacam tanda bahwa kita tidak melupakan asal-muasal (kampung, kesucian, dan dan kemerdekaan diri). Dengan kembali ke kampung atau mudik, kita seakan merehatkan sejenak dari segala aktualisasi diri yang banyak berbungkus relasi kepentingan sesaat ketika tinggal di perkotaan.

Itulah sebabnya gerak kembali pulang ke asal atau mudik merupakan proses mengembalikan diri ke arah kedamaian hati, dan kepedulian terhadap soal kemiskinan. Dalam kata mudik terkandung kesamaan arti bahwa perilaku asali manusia meski mencerminkan kejujuran sebagai motivasi aktualisasi keberislaman kita.